SAJAK PASKAH

Di hari keempat sebelum Paskah
Yeshua terkulai pasrah
rebah di tanah
di tengah Getsemani nan basah
oleh airmatanya yang resah
menitik berupa tetesan darah:
Abba, jauhkanlah cawan ini dariku,
namun bukan kehendakku yang jadi,
melainkan kehendak-Mu.

Dia tengah meniru kata
yang pernah dia dengar ketika
berada di perut ibunda-Nya, Maria:
terjadilah padaku, menurut kehendak-Mu.

Dia takut, namun percaya
Tuhan akan menyelamatkannya.
Seperti senandung Daud di bait dua puluh tiga:
Tuhan adalah gembalaku,
takkan kekurangan aku.
Dibaringkan-Nya aku di rumput hijau.
Kau menuntunku ke air yang tenang.
Gada dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

Namun, cawan pun harus tertuang
demi menyeka kepalanya dengan urapan,
karena dia takkan jadi Mesias tanpa pengurapan.

Sayang, cawan itu bukanlah berisi narwastu,
namun sebuah takdir yang terikat waktu.
Bila waktunya tiba,
maka segala daya upaya jadi sia-sia.
Melenggang kabur ketika berdoa pun takkan bisa.

Yeshua ditangkap, dilucuti, dihina caci maki,
dan disalibkan di Golgota
bersama dua pemberontak kaisar keji.

Yeshua mati.
Dia mati seusai tangisnya membahana:
Elohi, Elohi, lama sabakhtani?
Dia nyaris kehilangan kepercayaan,
Dia tak lagi memanggil Tuhannya: Abba, Bapa
namun: Elohi, sapaan kepada JHVH bagi bangsa Yahudi.

Di hela napas terakhir,
Dia pasrah dan kembali memanggil Tuhannya Bapa
mungkin dengan sedikit percaya:
Abba, ke dalam tangan-Mu
Kuserahkan nyawaku.

Di hari ketiga usai kematian-Nya,
hari yang telah dijanjikan Tuhan untuk kebangkitan-Nya,
Yeshua membuka mata,
melihat luka di telapak dan lambung-Nya,
kemudian menggulingkan sendiri batu kubur-Nya.

Tuhan bertanya: Paskah?
Yeshua menjawab: pas sekali, Tuhan. Pas di hari ketiga.

Oleh: Norman Adi Satria