Dilema tentang Salib

Salib memecahkan dua dilema besar -- yang satu dari sudut pandang Allah dan satunya lagi dari sudut pandang manusia. Semua orang tua pasti pernah mengalami dilema ketika mereka mengetahui bahwa anak mereka tidak taat, apakah mereka mendisiplinnya dengan keras atau membiarkannya karena mereka mengasihi si anak.

Apa yang akan Anda lakukan? Anda mengasihi anak Anda. Namun, ia jelas-jelas tidak taat, dan saat ini ia bahkan sedang berusaha menutupinya dengan kebohongan. Tentu saja Anda mengasihinya. Akan tetapi, Anda juga tidak dapat mengesampingkan masalah itu begitu saja. Anak Anda harus dihukum dan Anda harus melakukannya.

Situasi yang ditimbulkan oleh dosa kita jauh lebih kompleks daripada dilema seperti di atas. Namun, ada beberapa kesamaan. Karena Dia adalah Allah yang kudus, Dia tak dapat mengabaikan dosa kita begitu saja. Namun karena Dia juga adalah Allah yang penuh kasih, Dia tidak membiarkan kita dihukum setimpal dengan dosa-dosa kita.

Ilustrasi lain akan membantu kita untuk melihat dilema tersebut dari sudut pandang manusia. Bayangkan bila sekelompok orang terperangkap di atap -- sebuah bangunan tinggi yang sedang terbakar. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah melompat ke atap bangunan yang ada di sampingnya, yang berjarak lebih kurang 9 meter! Dalam keputusasaan, satu per satu dari mereka mulai mencoba melakukan lompatan yang mustahil tersebut. Meski ada yang melompat sangat jauh, tetapi pada akhirnya mereka semua jatuh dan mati.

Demikianlah keadaan manusia yang tak berdaya di hadapan Allah. Dosa menjadi pemisah antara kita dan Allah yang kudus, yang tidak dapat dijembatani oleh apa pun yang kita lakukan. Kita sama sekali tak berdaya untuk menyelamatkan diri sendiri. Namun, karena kasih-Nya Allah telah menyediakan sebuah jalan: salib Kristus.

Kita akan membuat diagram dari dilema tersebut sebagai berikut:

Allah >
Kudus >
Penuh kasih >

Pentingnya salib dapat ditelusuri kembali dari zaman penciptaan. Semua permasalahan kita berawal tatkala nenek moyang kita yang pertama (Adam dan Hawa) dengan sengaja dan tidak taat memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Allah telah berfirman bahwa Adam dan istrinya akan mati apabila mereka makan buah dari pohon itu. Namun mereka memakannya. Sejak saat itu, manusia tidak lagi menjadi ciptaan seperti yang semula diharapkan. Sejak saat itu pula anak-anak Adam yang lahir, hidup secara jasmani, tetapi mati secara rohani. Bukan hanya taman firdaus yang lenyap, tetapi manusia yang tak berdosa juga ikut lenyap bersamanya.

Setiap anak yang lahir dari zaman Eden hingga sekarang ini telah membuktikan bahwa kemurnian itu telah lenyap. Manusia diciptakan untuk berjalan bersama Allah, tetapi akhirnya mereka mewarisi sifat yang membuat mereka melupakan Allah, membenci sesamanya, dan hidup dengan cara-cara yang merusak diri sendiri. Oleh karena itulah Daud, Raja Israel, menyatakan dengan terus terang, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku." (Mazmur 51:7)

Dan Rasul Paulus menuliskan, "...sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut" (Roma 5:12) dan "upah dosa ialah maut." (Roma 6:23) Dalam surat yang lain ia menuliskan, "...semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam." (1 Korintus 15:22)

Inilah keadaan kita. Tatkala Adam menuruti perintah si ular, ia tidak hanya merugikan dirinya sendiri. Ketika ia melanggar perintah sang Pencipta dengan memakan buah pohon tersebut, kematian secara jasmani dan rohani menimpa semua manusia. Dan itulah yang kini menimpa kita. Buktinya, kita semua telah berdosa dan melawan Allah sejak lahir.

Lebih jauh lagi, kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong diri sendiri. Tidak ada satu pun perbaikan diri atau perbuatan baik yang mampu meraih kembali apa yang telah dimusnahkan oleh Adam. Nabi Yesaya melihat hal ini dengan jelas, karenanya ia mengatakan bahwa segala kesalehan kita seperti kain kotor (Yesaya 64:6). Lalu, Rasul Paulus juga menyatakan hal yang sama (Efesus 2:8,9). Kata-katanya mengingatkan kita bahwa manusia tidak dapat meninggikan diri di hadapan Allah dengan usahanya sendiri.

Ini merupakan berita buruk. Namun Alkitab, buku yang paling tepercaya di dunia, membenarkan hal itu. Kita dilahirkan di dunia ini dalam keadaan mati secara rohani. Kita dilahirkan terpisah dari Allah. Kita dilahirkan di dunia yang mengalami kematian jasmani dan rohani. Bila tak ada sesuatu pun yang terjadi, kita akan terus hidup melawan Allah. Bila tak ada sesuatu pun yang terjadi, kita akan ditakdirkan untuk menerima penghakiman dari Allah, yakni kematian yang kedua, lautan api yang diciptakan bagi setan dan pengikut-pengikutnya.

Apabila hal itu dirasa kurang, Alkitab mengatakan kepada kita bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang dapat kita lakukan untuk mendapatkan keselamatan. Tak disangsikan lagi, kita perlu pertolongan. Kita perlu penyelamatan. Kita perlu dilepaskan dari dosa dan segala ikatannya sebelum terlambat untuk selamanya.

Diambil dari:

Judul asli buku : Why Did Christ Have to Die?
Judul buku terjemahan : Mengapa Kristus Harus Mati?
Penulis : Staf Penulis RBC
Penerbit : Yayasan Gloria, Yogyakarta 1983
Halaman : 7 -- 9