Maria Magdalena

Anda mengenalku sebagai Maria Magdalena. Padahal namaku Maria. Titik. Dan aku lebih suka dipanggil begitu.

Disebut "Magdalena" karena aku berasal dari Magdala. Dan terus terang, hal itu sungguh tidak menguntungkan, sebab sekalipun kota asalku itu sebuah kota yang makmur serta merupakan pusat pertanian, industri perkapalan, dan perdagangan di Provinsi Galilea, aku tidak pernah bangga dikenal sebagai "orang Magdala". Anda barangkali mengetahui, bahwa kota Magdala memunyai reputasi buruk. Magdala, kata orang, dikenal sebagai kota yang amoral.

Namun, mungkin memang sudah nasibku. Bukan saja kotaku yang memunyai reputasi buruk, aku juga dikenal dengan bermacam-macam sebutan. Maria Magdalena: perempuan bejat dari kota bejat. Ah, sakitnya!

Aku dikenal sebagai Maria, si bekas pelacur.

Padahal, sebenarnya ini hanya prasangka belaka. Orang sering mengacaukan aku dengan Maria yang lain. Atau, ya itulah, sebab aku berasal dari Magdala, maka orang mudah saja menyangka yang tidak-tidak.

Hanya bila Anda telah pernah merasakannya, Anda akan mengetahui betapa kejamnya masyarakat kadang-kadang. Dengan sewenang-wenang mereka menuduh dan mendakwa, tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada si terdakwa untuk membela diri. Tidak jarang, yang bersangkutan pun malah tidak pernah mengetahui atau diberitahu tentang tuduhan itu. Lalu, mereka dengan serta-merta telah menghukumnya seumur hidup, tanpa diberi kemungkinan untuk memperoleh grasi atau amnesti.

Entah sudah berapa banyak korban berjatuhan, dan entah sudah berapa banyak kehidupan yang hancur karena kesewenang-wenangan seperti ini. Sulitnya, orang baru menyadari itu setelah dirinya sendiri mengalami ketidakadilan ini.

Ah, sekiranya orang hanya memunyai prasangka yang baik tentang sesamanya! Sekiranya orang hanya menghakimi dirinya sendiri dan bukan orang lain!

Mungkin karena pengalamanku yang pahit itulah, perjumpaanku dengan Yesus menjadi titik balik paling bermakna, yang mengubah seluruh hidupku.

Terus terang, aku baru sekali itu berjumpa dengan orang seperti itu. Sungguh langka ada seorang tokoh agama yang bersedia menerima orang sepertiku apa adanya. Tanpa sikap menuding, menuntut, atau mendakwa. Bukan saja Dia bersedia menerimaku seperti apa adanya aku, Dia juga bersedia menerima diriku sendiri seperti aku adanya -- dengan segala kelebihanku dan dengan segala kekuranganku. Lalu dari situ aku berusaha menjadi diriku yang terbaik.

Aku heran mengapa para tokoh agama yang lain tidak rela belajar dari Yesus mengenai hal ini, padahal itulah cara yang paling efektif untuk memungkinkan perubahan sejati pada diri seseorang. Bahwa orang akan lebih mampu mengubah dirinya bila ia pertama-tama merasa dirinya diterima, dan bukan sebaliknya, belum apa-apa sudah dituntut dan dituduh, bahwa orang sungguh-sungguh akan berubah, bukan karena bersedia memenuhi tuntutan moral dari luar dirinya, melainkan karena dorongan murni yang berasal dari kesadaran di dalam dirinya.

Baiklah kuakui tanpa malu-malu. Aku, Maria, pernah dikuasai oleh tujuh setan. Aku bukan seorang yang suci. Aku jauh dari itu.

Namun Anda mengetahui, apa yang dilakukan Yesus ketika aku datang menjumpai-Nya? Dari mata-Nya, aku mengetahui tidak sedikit pun tersirat rasa jijik di dalam hati-Nya. Jauh dari sikap mengutuk, Dia justru menerima dan mengampuniku.

Dengan setulus dan seputih batin-Nya. Dia tak perlu mengatakannya, aku bisa merasakannya.

Dan dengan begitu, Dia membebaskanku. Membebaskan aku dari sikap mengutuki diriku sendiri.

Oleh karenanya, aku berharap Anda bersedia mengerti mengapa aku begitu mengasihi-Nya dengan segenap hatiku. Aku berhutang hidup kepada-Nya.

Aku juga mengetahui bahwa orang sering mengacaukan aku dengan Maria dari Betania yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu, lalu membasuhnya dengan air mata dan menyeka dengan rambutnya yang tergerai. Aku, Maria Magdalena, bukan aku yang melakukan itu. Akan tetapi, sekiranya aku memunyai kesempatan, pasti akan kulakukan hal yang sama tanpa ragu, malah mungkin lebih dari itu.

Aku mengasihi-Nya. Aku tahu Dia pun mengasihiku. Mengenai ini, masyarakat pun lalu menuduh yang tidak-tidak. Tampaknya di dunia ini, kebencian diterima jauh lebih wajar dibanding keakraban. Keakraban bisa dikutuk sebagai amoral, sedangkan permusuhan tidak. Bukankah demikian?

Entah bagaimanapun pandangan masyarakat, aku tak dapat menyangkal betapa hancur hatiku pada hari Jumat itu. Dia, Tuhanku, Guruku, Sahabatku, mati. Dan bersamaan dengan itu, diriku sendiri serasa mati.

Karena masih hari Sabat, kutahan sedapat-dapatnya hatiku yang meronta-ronta dengan hebatnya. Sabtu itu, aku cuma tinggal di rumah. Menangis dan menangis. Aku ingin menjerit.

Baru saja kunikmati hidup yang bermakna. Belum lama. Lalu kini semuanya tinggal puing-puing belaka. Begitu tiba-tiba.

Fajar belum lagi menyingsing, tetapi hari Sabat telah berlalu. Apa lagi yang kutunggu? Ke makam Yesus aku berlari, buru-buru.

Tak pernah kuperoleh kesempatan untuk mengungkapkan cintaku kepada-Nya selama Dia masih hidup. Dan ini adalah penyesalanku yang paling dalam, yang akan kubawa sampai mati. Kini Dia telah tiada. Aku hanya dapat mengungkapkan kasih sayangku di depan kubur-Nya. Seperti yang dilakukan Maria dari Betania, bilamana mungkin, akan kubasuh jenazah-Nya dengan air mataku dan kuseka Dia dengan rambutku yang tergerai. Akan tetapi, alangkah terkejutnya aku. Dunia ini rupa-rupanya telah begitu membenciku sehingga untuk itu pun aku tidak diberi kemungkinan melakukannya. Kubur-Nya menganga. Jenazah-Nya tidak ada.

Dahulu aku berpikir, bila toh aku tidak boleh menjamah tubuh-Nya, bekas-bekas kehadiran-Nya pun telah cukup bermakna. Akan tetapi, itu pun tiada. Dapatkah Anda memahami perasaanku pada waktu itu? Telah kutekan pengharapanku sampai ke titik yang paling rendah, namun untuk itu pun aku masih harus dikecewakan. Aku meratap. Aku menjerit. Aku menangis. Ada rasa duka di dalam di hatiku.

"Maria!" Aku mendengar suara itu. Ya, aku mendengar. Akan tetapi, jeritan di dalam hatiku lebih keras dari suara itu. Sebab itu, aku tidak menengok.

"Maria." Untuk kedua kalinya. Suara itu kukenal betul. Suara yang dalam, hangat, tetapi penuh wibawa. Suara Kekasihku, Guruku, Sahabatku, Saudaraku, Penolongku!

Aku menengok. Memang Dia! Aku kini tak peduli apa-apa lagi. Yesus! Aku berlari. Aku ingin memeluk-Nya. Aku mau mencium kaki-Nya. Aku bagai menemukan kembali hidupku sendiri.

Namun Dia menghindar. "Nanti, Maria. Belum sekarang. Nanti, di Kerajaan Bapa. Di situ semuanya abadi, indah, dan suci. Sekarang, untuk sementara kita mesti berpisah lagi. Sekarang, pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan saudara-saudaramu. Beritahukanlah kepada mereka agar berkumpul di Galilea dan kita semua akan bertemu di sana!"

Dia menghilang! Akan tetapi kini aku tidak lagi merasa kehilangan. Kehadiran-Nya, sekalipun cuma di batinku, telah membuat hatiku penuh. Hidupku ceria dan bermakna kembali.

Sebab itu, kusayangkan benar bila orang mengatakan mengasihi Yesus, tetapi dia tidak pernah sungguh-sungguh mewujudkan kasihnya dalam tindakan; Dia tidak hadir di batinnya.

Diambil dari:

Judul buku : Mengapa Harus Salib?
Penulis : Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D.
Penerbit : Gloria Grafa, Yogyakarta 2004
Halaman : 64 -- 70

Dipublikasikan di: http://wanita.sabda.org/maria_magdalena