Mengapa Yesus Harus Sangat Menderita?

"Dia sendiri telah menanggung dosa kita pada tubuh-Nya di kayu salib supaya kita mati terhadap dosa, dan hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu disembuhkan." (1Ptr. 2:24, AYT)

Kristus harus mati untuk membayar dosa-dosa kita. "Alkitab mengatakan bahwa Dia ditinggikan bukan hanya setelah darah-Nya dicurahkan, tetapi oleh peristiwa itu sendiri," tulis John Piper.

Akan tetapi, mengapa kematian-Nya begitu mengerikan? Apa yang dicapai Kristus dengan mati secara terbuka, yang tidak dapat dicapai secara tertutup? Mengapa harus salib dan bukannya hukuman mati lain yang lebih cepat, misalnya seperti pemenggalan?

Mempermalukan Si Terhukum

Gambar:Yesus menderita

Saat disalibkan, khalayak ramai diundang untuk menyaksikan Yesus, Rabi yang terkenal, mati menggantikan seorang pembunuh. Dia mati bersama dua pencuri sebagai tontonan yang dimaksudkan untuk menakuti calon penjahat, menjaga ketertiban dengan rasa takut, dan juga mempermalukan para terpidana.

Mahkamah agama dan pemerintah Romawi berusaha membuktikan bahwa mereka telah menghancurkan Yesus sepenuhnya, baik pribadi maupun kegerakan-Nya yang mengancam kekuasaan mereka.

Menurut Dr. Neel Burton, penghinaan melucuti status seseorang. Dibandingkan dengan rasa malu belaka, "Ketika kita dipermalukan, status kita tidak dapat dengan mudah dipulihkan karena otoritas kita untuk membuat klaim status telah dipertanyakan." Korban tidak dapat lagi berbicara untuk "membela [dirinya] melawan para agresor mereka".

"Mereka menanggalkan pakaian Yesus dan memakaikan jubah ungu kepada-Nya. Dan, sesudah menganyam sebuah mahkota berduri bersama-sama, mereka memakaikannya di kepala Yesus, sebatang buluh pada tangan kanan-Nya, dan bersujud di hadapan-Nya, dan mengejek Dia, kata mereka, 'Salam, Raja orang Yahudi!'" (Mat. 27:28-29, AYT)

Dengan ini, kita tahu bahwa Yesus memahami penderitaan karena penghinaan. Kristus disalibkan di samping dua penjahat yang dihukum. Dia otomatis dianggap bersalah ketika disandingkan dengan mereka. Namun, Dia tidak mencoba membela diri: Dia harus mati, dan Dia tidak malu untuk mati demi salah satu dari kedua orang itu.

Akan tetapi, Yesus tidak bersuara bukan karena Dia merasa malu; Dia sudah cukup berkata-kata. Dia telah memberi tahu murid-muridnya sesaat sebelum penderitaannya, "Aku tidak akan berbicara lebih banyak lagi denganmu karena penguasa dunia ini sedang datang. Dia tidak berkuasa sedikit pun atas-Ku." (Yoh. 14:30, AYT)

Pelayanan dari Salib

Setiap kata yang Yesus ucapkan dari kayu salib, saat Dia berjuang bahkan untuk bernapas, dirancang untuk menenggelamkan rasa malu. Dia menawarkan pengampunan dan pemulihan kepada para pencuri yang bersama-Nya, salah satu dari mereka menerima anugerah tersebut. Dia meminta Bapa untuk memaafkan para prajurit.

Yesus memastikan ibu dan murid terkasihnya akan saling menjaga. Dia tidak menyia-nyiakan napas-Nya untuk mengutuk, dengan demikian Dia menunjukkan bagaimana cara mengasihi musuh bahkan saat mereka sedang memberi siksaan.

Orang Kristen yang menderita penganiayaan emosional atau fisik karena iman mereka dapat percaya bahwa penderitaan memperkuat karakter mereka dan memberi mereka harapan: Dan mereka tidak malu untuk berharap kepada Yesus Kristus (Rm. 5:3-5).

Ini adalah salah satu cara Yesus membalikkan keadaan, "Ia melucuti para pemerintah dan penguasa, lalu menjadikan mereka tontonan yang memalukan oleh karena kemenangan-Nya di atas kayu salib." (Kol. 2:15, AYT).

Kematian Yesus di depan umum menyabotase niat untuk menghancurkan tujuan kedatangan-Nya. Tidak ada argumen cerdas yang dapat mengatakan bahwa Kristus tidak benar-benar mati ketika Dia benar-benar dibaringkan di dalam kubur.

Yohanes 19:34 mengatakan, "Namun, salah seorang prajurit itu menusukkan tombaknya ke lambung Yesus, dan seketika itu juga, darah dan air mengalir keluar." Ketika Dia bangkit dari kematian dan melanjutkan pelayanan-Nya, Yesus tidak hanya mengalahkan kematian tetapi membuktikan bahwa Dia adalah Mesias. Dengan demikian, alih-alih meredup, kegerakan itu semakin bertumbuh.

Kematian Kristus di depan umum juga memberi-Nya landasan untuk membuktikan konsistensi-Nya. Hal tersebut menyentuh para saksi mata tertentu hingga ke level personal dan terus memperkuat pesan-Nya sampai hari ini. Sambil menanggung siksaan penyaliban, Yesus tetap mengasihi musuh-musuh-Nya sebagaimana yang telah diajarkan-Nya.

Saat para prajurit mengundi pakaian-Nya, "Yesus berdoa untuk pengampunan atas mereka, bukan bagi pembebasan-Nya sendiri. Belas kasihan, ketekunan, otoritas, dan pengampunan-Nya tetap utuh selama cobaan berat-Nya. Ini adalah "autentisitas," yang "menggambarkan kekuatan dan kesetiaan Juru Selamat kita sehingga sungguh layak untuk kita andalkan."

Dia hidup dan mati sesuai dengan ajaran-Nya. Seperti dalam perkataan kepala pasukan setelah kematian-Nya, "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!" (Mrk. 15:39, AYT)

Hari Terpanjang

Korban penyaliban terkadang meninggal hanya jika seorang prajurit telah mematahkan kaki mereka dan mereka tidak berdaya untuk mendorong tubuh mereka ke atas untuk bernapas. Yesus hanya bertahan beberapa jam di atas kayu salib, tetapi bukan di situ siksaan-Nya dimulai.

Kematian Kristus dimulai di Taman Getsemani saat Dia berdoa kepada Bapa-Nya tentang siksaan yang Dia tahu akan segera datang. Dia bahkan mencucurkan keringat darah. Sang Immanuel ditangkap sebelum hari itu dimulai dan segera mengalami serangan pertamanya. Setelah itu, Dia memulai perjalanan yang menyakitkan ke Kalvari, yang diakhiri dengan penyaliban-Nya.

Banyak sumber tidak sependapat tentang berapa lama Kristus tergantung di kayu salib: mulai dari tiga sampai enam jam. Kematian dengan penyaliban seharusnya memakan waktu lebih lama, tetapi Yesus sudah terlalu banyak kehilangan darah dan mengalami syok. "Pilatus terkejut mendengar bahwa Dia sudah mati."

Penyiksaan seperti itu akan menghancurkan manusia biasa. Yesaya 53:5 menubuatkan kehancuran fisik itu: Kehancuran itu terjadi pada status Yesus hingga tubuh-Nya, tetapi bukan pikiran-Nya. Tanda-tanda syok (segala jenis syok) biasanya adalah kecemasan dan kebingungan. Namun demikian, Yesus tidak pernah goyah tentang karakter atau tujuan-Nya selama pencobaan yang panjang itu.

Inilah tanda lain dari konsistensi dan autentisitas-Nya: Jika Dia mencoba menipu kita, atau menipu diri-Nya sendiri, hari penyiksaan yang panjang ini dirancang untuk mengungkap kedok-Nya. Melalui bilur-bilur-Nya dan daya tahan-Nya, kita tahu bahwa inilah Mesias yang asli; Putra Allah sendiri, yang menjadi sandaran bagi pengharapan kita.

Penderitaan yang Brutal

Dr. C. Truman Davis menjelaskan hukuman cambuk yang mendahului penyaliban: Seusai hukuman cambuk yang brutal ini "kulit punggung si terhukum tampak seperti pita panjang yang berdarah-darah dan seluruh punggung berubah menjadi kumpulan jaringan yang robek, berdarah, dan tidak dapat dikenali."

Saat dipakaikan mahkota duri dan jubah, Yesus dipukul di sekitar kepala, menyebabkan lebih banyak pendarahan. "Saat tubuh-Nya penuh dengan gumpalan darah dan serum di luka-luka-Nya," pelepasan jubahnya dengan agresif menyebabkan pendarahan yang lebih parah.

Catatan sejarah tampaknya menunjukkan bahwa hukuman cambuk yang sangat intens pada Yesus ini sebenarnya dimaksudkan sebagai "hukuman penuh untuk-Nya, sementara hukuman mati dengan cara disalib adalah hasil dari tuntutan massa."

Dengan kata lain, kedua pencuri di sampingnya tidak menderita luka-luka mengerikan seperti Yesus. Lagi pula, mereka tidak mengaku sebagai Tuhan; mereka tidak mengancam fondasi sebuah kerajaan atau mengilhami kebencian yang begitu intens. Pelanggaran mereka lebih kecil dibandingkan dengan pelanggaran Sang Mesias.

Intensitas Dosa

Namun, Kristus tidak hanya membayar dosa seumur hidup seorang manusia; Dia membayar semua dosa pria dan wanita di masa lalu dan masa depan.

Kematian-Nya sama brutalnya dengan dosa kita yang berbahaya. Yesus "pergi ke kayu salib untuk satu alasan: Untuk menjadi kurban terakhir dan sempurna bagi dosa-dosa kita."

Kita telah berdosa dan bersalah di hadapan Allah, dan kita pantas mati karena dosa-dosa kita." Kebenaran yang jelas adalah bahwa "Tuhan itu kudus dan adil, dan dosa harus dihukum."

Segala sesuatu yang Allah ciptakan telah dirusak oleh pemberontakan kita terhadap Dia (Rm. 8:22). "Dengan mengutus Anak-Nya sendiri dalam keserupaan dengan tubuh jasmani yang berdosa dan untuk dosa, Ia menghukum dosa dalam daging." (Rm. 8:3, AYT)

Kristus dihancurkan sama seperti dunia dihancurkan. Kita ditakdirkan untuk mengalaminya demi kebaikan kita sendiri; untuk merasakan kehancuran dan kengeriannya, lalu berlutut.

Meski begitu, pukulan terberat bagi Yesus (yang tidak akan pernah dihadapi orang percaya) adalah ketika Dia berseru "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mrk. 15:34, AYT), Sang Bapa telah berpaling dari-Nya.

"Ini adalah bagian terdalam dan tergelap dari penderitaan Yesus," tulis Thabiti Anyabwile. "Pengabaian sosial adalah sesuatu yang sangat mengerikan, tetapi hal itu datang dari luar. Pengabaian emosional itu adalah sesuatu yang menyakitkan, tetapi hanya terjadi di dalam diri Yesus. [...] Ada sesuatu yang terkoyak dalam jalinan hubungan antara Bapa dan Anak." Ini adalah penderitaan yang nyata; yang tidak akan pernah dirasakan oleh orang percaya karena pengorbanan Yesus.

Penebusan atas Dosa, Pengharapan Kita dalam Kristus

Yesus menunjukkan sejauh apa Dia rela menderita untuk membuktikan kedalaman kasih-Nya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Yesus disempurnakan oleh penderitaan-Nya (Ibr. 2:10) dan mereka yang tinggal di dalam Kristus juga disempurnakan (Ibr. 10:14). Kristus mengatasi kegelapan dengan bangkit dari kubur, dan kita juga telah dibangkitkan, tetapi kita masih menderita.

Sementara itu, "... kita tidak memiliki Imam Besar yang tidak dapat memahami kelemahan-kelemahan kita, tetapi kita memiliki Imam Besar yang telah dicobai dalam segala hal, sama seperti kita, tetapi Ia tidak berdosa." (Ibr. 4:15, AYT).

Penghinaan, perendahan, siksaan fisik, ejekan, penolakan, pengkhianatan, rasa sakit yang membakar, teror, tuduhan yang salah: Dia telah mengalami semuanya.

Hal ini seharusnya memberi kita pengharapan. "Oleh bilur-bilur-Nya, kamu disembuhkan." (1Ptr. 2:24, AYT) Yesus menunjukkan sejauh apa Dia rela menderita untuk membuktikan kedalaman kasih-Nya. Kebangkitan-Nya sama menakjubkannya dengan kematian-Nya yang mengerikan.

Dalam hal ini, kita merasakan rasa aman yang penuh dalam Juru Selamat kita: Bahwa Dia dapat dan telah mengatasi bukan hanya kematian, tetapi juga kematian semengerikan itu. (t/Yudo)

Download Audio

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Christianity.com
Alamat situs : https://christianity.com/wiki/jesus-christ/why-did-jesus-have-to-suffer-so-badly.html
Judul asli artikel : Why Did Jesus Have to Suffer So Badly?
Penulis artikel : Candice Lucey