Monolog Ayam Jago

Hari ini rasanya aneh sekali. Entah mengapa, rasanya malam lebih cepat menjelang daripada biasanya. Matahari memang sudah bergulir ke Barat, tapi masih tinggi. Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Karena mengira hari sudah malam, betina-betina mulai masuk ke petarangannya. Anak-anak menciap-ciap mencari kehangatan di balik ketiak induknya. Mereka bersiap mulai tidur. Pandangan mataku juga mulai meremang. Walaupun sebenarnya belum merasa mengantuk, aku pun mulai bertengger di atas ranting pohon kesukaanku. Dengan perasaan aneh, aku juga mencoba untuk tidur.

Sambil memejamkan mata, aku mengingat kembali kejadian hari ini. Siang tadi, penduduk kota mengerumuni pinggir jalan di kota ini. Mereka sedang menunggu dan ingin menonton sebuah arak-arakan. Karena penasaran, aku menerobos di sela-sela kaki manusia untuk melihat apa yang terjadi. Tapi celaka, ketika aku melongokkan kepalaku, ada barisan tentara yang lewat. Satu tentara berusaha aku dengan garang. Aku berusaha berkelit, tapi tak urung, pantatku terkena juga. Sakitnya masih terasa sampai kini. Rupanya pasukan tentara itu sedang menyeret tiga orang pesakitan. Wajah mereka terlihat sangat kotor. Tubuh mereka penuh dengan luka. Darah mengering bercampur dengan debu jalan. Ketiganya berjalan terhuyung-huyung. Setiap kali terjatuh, tentara yang mengawal di belakangnya segera melecutkan cambuknya. Penonton bersorak. Seolah dendam mereka pada penjahat itu terbalas melalui tangan tentara itu.

Orang-orang sekitar mengatakan dua penjahat yang diarak di jalanan kota itu memang orang yang sangat kejam. Kejahatan kedua laki-laki ini sudah terkenal dan sangat merisaukaan warga kota. Sedangkan penjahat yang satunya lagi digelandang ke jalanan karena dituduh telah melawan pemerintah. Laki-laki ini juga dituduh telah menghina para pemimpin agama. Dia menyebut para pemimpin agama sebagai orang yang gila hormat, munafik dan buta. Laki-laki itu bahkan mengatai mereka sebagai ”keturunan ular beludak!” Pantas saja, aku melihat beberapa pemimpin agama yang membuntuti arak-arakan tadi. Meski penasaran, aku putuskan tidak mengikuti arak-arakan itu. Aku harus cari makan.

Tiba-tiba aku merasa ranting pohon, tempat aku bertengger, bergoyang-goyang. Padahal tidak ada angin yang berembus. Lama-lama goyangannya semakin hebat. Seluruh batang pohon bahkan ikut bergoncang. Aku mengepak-kepak sayapku untuk menjaga keseimbangan. Ups, aku nyaris jatuh. Apa yang terjadi? Sontak, suasana menjadi gaduh. Di dalam keremangan, samar-samar aku melihat manusia yang berlarian dengan panik. ”Gempa bumi....gempa bumi” teriak mereka. Pohon-pohon besar tumbang, tembok-tembok merekah, pilar-pilar berguguran, tanah merekah. Seluruh penghuni kota berusaha menyelamatkan diri.
Kegaduhan belum reda, tiba-tiba dari arah pintu gerbang kota terdengar jeritan ketakutan. ”Tolong-tolong..... ada orang mati yang hidup lagi.” Gempa bumi itu telah membelah bukit di pinggiran kota dan membongkar makam-makam yang ada di sana. Mayat-mayat yang ada di dalamnya keluar dari kuburnya dan berjalan-jalan di kota. Geger seluruh isi kota!

******Ayam jago
Tanda-tanda kegemparan di kota ini, sebenarnya sudah mulai terlihat sejak kemarin sore. Seperti biasa, begitu matahari terbenam aku bersiap untuk tidur. Aku tidak boleh tidur terlalu larut supaya besok tidak bangun kesiangan. Aku mengemban tugas yang mulia. Kalau besok aku bangun kesiangan, banyak orang yang akan mengomel-ngomel. Manusia memang aneh, kalau aku menjalankan tugasku dengan baik, mereka berlalu begitu saja. Tak sepotong ucapan terima kasih keluar dari mulut mereka. Aku seolah dianggap angin lalu saja. Tapi begitu aku melalaikan tugasku, mereka pasti tergesa-gesa berangkat kerja sambil bersungut-sungut. Bahkan kalau