Semerbak Bau Narwastu

Bayang-bayang Golgota semakin nyata. Awan pekat semakin dekat. Dan aroma kematian pun kian akrab.

Gambar: Narwastu

Yesus tahu, hidupnya tak akan lama. Hati-Nya mulai resah dan gundah. Namun bukan kematian yang amat menekan jiwa-Nya, melainkan sakitnya, pedihnya, dan ngerinya penderitaan yang harus Dia alami sebelum kematian tiba. Piala pahit yang mesti direguk-Nya. Tepat sekali apa yang dikatakan Napoleon: sesungguhnyalah, penderitaan itu lebih mengerikan daripada kematian!

Namun, hidup Yesus, seperti hidup setiap kita, tidak melulu kelabu.Misalnya, peristiwa itu. Peristiwa yang terjadi kurang lebih seminggu sebelum beratnya kayu salib dan ngilunya ayunan cemeti mengoyak bahu.

Ada sebuah pesta di Betania! Penginjil
Yohanes mencatat, "Di situ diadakan perjamuan untuk Dia." Sebuah pesta khusus untuk Yesus! Ketika awan mendung kian berat menggantung, secercah cahaya surya menyusup masuk. Walau sejenak.

Ya. Sebab apa lagi yang lebih dibutuhkan selama saat-saat berat seperti itu, selain ungkapan cinta dan setia? Apa lagi yang dibutuhkan ketika seluruh dunia mendesahkan napas benci, kecuali bahwa masih ada sahabat-sahabat yang tetap mencintai? Bayangan penderitaan itu begitu memenatkan, tapi kasih sayang itu begitu menguatkan. Bekal mati yang meringankan gundah hati

***

Hampir semua teman dekat Yesus ada di sana. Namun secara khusus, Yohanes
cuma mencatat tiga nama. Kebetulan, tiga bersaudara.

Yang pertama adalah Lazarus. Ia, kata Yohanes, adalah "salah seorang yang turut makan dengan Yesus".

Yang kedua adalah Marta. Yang seperti kita duga, menurut Yohanes, sedang sibuk "melayani".

Dan yang ketiga adalah Maria
. Tentang Maria inilah, Yohanes bercerita paling banyak. "Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu."

***

Maria, sudahlah pasti, bukanlah seorang gadis kaya raya. Ia, sudahlah pasti, harus menabung cukup lama, sampai ia berhasil membeli "setengah kati minyak narwastu murni yang mahal". Harganya 300 dinar lebih. Atau Rp 225.000 lebih. Coba Anda bayangkan: parfum seharga seperempat juta rupiah!

Maria, sudahlah pasti, tidak pernah memakai parfum semahal itu. Parfum itu dibelinya khusus untuk Yesus.

Itulah ungkapan cinta yang paling wajar. Cinta sejati tidak cuma memberi apa yang sudah ada, banyak atau sedikit. Cinta sejati tidak puas cuma memberi sisa-sisa: sisa-sisa tenaga, sisa-sisa pikiran, sisa-sisa waktu, dan atau sisa-sisa uang. Cinta sejati tidak pernah hanya asal memberi.

Cinta sejati selalu berarti: dengan sadar dan dengan sengaja menyiapkan secara khusus yang terindah, yang terbaik, yang paling berharga, yang dapat kita persembahkan. Mempersembahkan yang maksimal, bukan yang minimal.

Oleh karena itu, pantas sekali bila Yesus memuji Maria setinggi langit. Namun, apakah itu karena Maria memberikan sesuatu yang amat mahal? Oh, ya, memang begitu. Tetapi pasti bukan hanya karena itu.

Menurut Yohanes, klimaksnya bukanlah ketika minyak narwastu dituangkan. Namun ketika Maria "meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya".

Maria menciptakan sebuah ritus baru! Spontanitas cintanya membuatnya tidak terikat kepada ritus-ritus formal. Biasanya yang diurapi adalah kepala, kini kaki. Biasanya minyak yang meleleh diseka dengan kain, kini rambut.

Yang terhina dari Yesus diseka dengan yang paling mulia dari Maria. Bila ini bukan ungkapan penyerahan diri yang paling dalam, lalu apalagi?! Yang dipersembahkan bukan saja yang paling indah, yang paling baik, dan yang paling mahal, tetapi yang paling mulia-termasuk seluruh kehormatan dan harga diri Maria.

***

Cinta sejati selalu berarti: dengan sadar dan dengan sengaja menyiapkan secara khusus yang terindah, yang terbaik, yang paling berharga, yang dapat kita persembahkan.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Melalui kisah Maria ini, Yohanes hendak mengungkapkan suatu sikap religius yang paling autentik. Dan sikap religius seperti itu, sesungguhnyalah begitu relevan bagi kita, kini dan di sini. Ketika begitu banyak orang mengeluh tak habis mengerti, mengapa di satu pihak kita membanggakan diri sebagai suatu masyarakat yang amat religius (dan ini memang tidak salah!), tetapi di lain pihak, seolah-olah hidup serta kenyataan sehari-hari tak terjamah oleh nilai-nilai religi. Sebab ketika pembangunan rumah-rumah ibadah serta pengunjung kegiatan-kegiatan ibadah secara kuantitatif amat menakjubkan, tetapi hidup keseharian kita berlangsung biasa-biasa saja, tanpa perubahan kualitatif. Sebabnya ialah, memang tidak cukup membuat pesta-pesta bagi Yesus seperti di Betania. Sebabnya ialah, memang tidak cukup bersikap seperti Lazarus, yang sekadar hadir dan "turut makan". Sebabnya ialah, memang tidak cukup bersikap seperti Marta, yang sibuk "melayani". Yang dibutuhkan ialah, suatu sikap dan tindakan agamawi yang autentik seperti Maria. Sikap dan tindakan agamawi yang benar-benar keluar dari hati. Dari hati yang didesak-desak cinta yang murni. Dari hati yang diganggu oleh kebutuhan untuk mengungkapkan penyerahan diri yang sejati. Sebab itu, ia tidak cuma tindakan objektif. Ia amat personal dan subjektif. Sebab itu, ia tidak cuma formal, ia amat eksistensial.

Inilah yang membuat "bau minyak semerbak di seluruh rumah itu"! Kehidupan religius yang berkembang itu sesungguhnya hanya dapat diukur dari satu tolok ukur ini saja: apakah ia mampu menyebarkan semerbak bau narwastu di seluruh sendi kehidupan kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Bukan semerbaknya bau kedengkian. Bukan membubungnya asap kecurigaan. Bukan menggumpalnya kebencian.

Bila memang minyak narwastulah yang kita tuangkan ke kaki sembahan kita, maka memang hanya semerbak bau narwastu yang akan memenuhi kehidupan.

Jadi, marilah kita masing-masing bertanya: minyak apa yang sebenarnya kita tuangkan dalam ibadah-ibadah kita selama ini?

Download Audio

Diambil dari:
Judul buku : Mengapa Harus Salib
Penulis : Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D.
Penerbit : Gloria Graffa
Halaman : 30 -- 35