Secercah Harapan

Kemudian, saya berkata kepada diri sendiri sambil menghela nafas duka karena pahitnya jiwa saya, "Bagaimana Allah bisa menghibur manusia celaka seperti aku ini?" Begitu selesai berkata demikian, kata-kata berikut kembali kepada saya, bagaikan gema yang menjawab, "Dosa ini bukan dosa yang mendatangkan maut." Seketika itu juga saya merasa seakan-akan diangkat keluar dari kubur dan saya berseru kembali, "Tuhan, bagaimana mungkin Engkau bisa berkata demikian?" Sebab, hati saya merasa sangat takjub mendapatkan tanggapan yang tepat dan tak terduga, yakni ketepatan ucapan, ketepatan waktunya; kuasa, kenyamanan, terang, dan kemuliaan yang datang bersamanya membuat saya merasa kagum. Kini, untuk satu saat ini, saya merasa tidak lagi ragu-ragu tentang hal yang sudah begitu membingungkan saya sebelumnya, yaitu saya takut dosa saya tak terampuni dan itu menyebabkan saya tak berhak untuk berdoa, bertobat, dll.; atau andai saya berhak melakukannya, sama sekali tak ada keuntungan atau manfaatnya bagi saya.

Namun, kini saya berpikir, "Jika dosa ini bukan dosa yang mendatangkan maut, berarti bisa diampuni. Dari sini saya mendapatkan kekuatan untuk datang kepada Allah melalui Kristus untuk memohon kemurahan -- menganggap janji pengampunan berarti berdiri dengan tangan terbuka untuk menerima saya sebagaimana orang lain." Peristiwa ini sangat menenangkan pikiran saya karena dosa saya bisa diampuni, dosa saya bukan dosa yang mendatangkan maut (1 Yoh. 6:16-17). Hanya orang-orang yang pernah mengalami apa yang saya alami yang bisa menceritakan betapa leganya jiwa saya karena pemahaman ini. Saya merasa terlepas dari belenggu-belenggu lama saya dan merasa mendapatkan perlindungan untuk menghindari badai-badai lama saya. Sekarang sepertinya saya berpijak pada tanah yang sama dengan orang-orang berdosa lainnya dan memiliki hak yang sama banyaknya dengan mereka dalam masalah Firman dan doa.

Saya tegaskan, saya sepenuhnya berharap bahwa dosa saya bukanlah dosa yang tak terampuni, bahwa pasti ada pengharapan bagi saya untuk memperoleh pengampunan. Namun, oh, betapa Iblis berupaya menjatuhkan saya kembali! Ia bertekad melakukannya, tetapi gagal pada hari itu atau pada hari berikutnya karena pernyataan "Dosa ini bukan dosa yang mendatangkan maut," bagaikan plakat di punggung saya. Namun, hingga petang keesokan harinya, saya merasa bahwa perkataan tersebut mulai meninggalkan saya dan menarik kembali dukungannya dari saya.

Saya merasa takut kembali, tetapi dengan perasaan yang sangat tak rela dan kesal, karena saya takut sedihnya perasaan putus asa dan karena iman saya tak dapat mempertahankan perkataan tersebut. Namun, petang keesokan harinya, dengan merasakan beban berat karena bertumpuknya rasa takut, saya mencari Tuhan. Dan ketika saya berdoa, saya menangis, jiwa saya berseru-seru kepada-Nya sambil mengucapkan kata-kata berikut dengan ratapan keras, "Ya, Tuhan, aku memohon kepada-Mu agar menunjukkan kepadaku bahwa selama ini Engkau mengasihi aku dengan kasih yang kekal." Seketika itu juga, kata-kata ini kembali kepada saya dengan begitu menyenangkan bagaikan suatu gema atau kalimat yang berkumandang kembali: "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal" (Yer. 31:3). Kini saya bisa tidur dengan tenang, dan ketika saya terjaga keesokan harinya, kalimat ini tetap terasa segar dalam jiwa saya dan saya memercayainya. Namun, si pencoba tidak membiarkan saya begitu saja; seperti yang sudah-sudah, ia berjuang menghancurkan ketenangan saya hari itu. Oh, betapa hebatnya peperangan dan konflik yang saya jumpai kemudian! Ketika saya berjuang memegang teguh perkataan tadi, ucapan Esau melintas di depan wajah saya bagaikan kilat yang menyambar. Adakalanya dalam satu jam saya mondar-mandir dua puluh kali. Namun, Allah menopang saya dan membuat hati saya tetap tertuju pada perkataan-Nya, dan selama berhari-hari saya merasakan sukacita dan pengharapan karena memperoleh pengampunan. Sebab inilah yang datang kepada saya, "Aku mengasihi engkau ketika engkau masih melakukan dosa ini. Aku mengasihi engkau sebelumnya, Aku masih mengasihi engkau sekarang, dan Aku akan mengasihi engkau sampai selama-lamanya."

Kendati demikian, saya melihat dosa saya sebagai kejahatan yang paling buas dan menjijikkan dan mau tak mau, sambil merasa sangat malu dan takjub, saya berkesimpulan bahwa saya telah menganiaya Anak Allah yang kudus. Karena itu, saya merasa jiwa saya sangat mengasihi dan mengasihani-Nya dan jiwa saya yang terdalam merindukan-Nya, karena saya melihat bahwa Ia tetap Sahabat saya dan telah membalas kejahatan saya dengan kebaikan. Ya, kasih dan sayang yang saat itu berkobar di dalam diri saya untuk Tuhan dan Juru Selamat saya, Yesus Kristus, pada saat itu membangkitkan suatu kerinduan yang kuat dan menggebu-gebu untuk membalas diri saya sendiri yang menganiaya-Nya. Jika saya bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan saat itu dengan kata-kata, saya akan berkata bahwa seandainya saya memiliki seribu galon darah di dalam nadi saya, saya akan dengan rela mencurahkan semuanya di bawah kaki Tuhan dan Juru Selamat saya kalau Ia memerintahkannya.

Ketika saya sedang mempertimbangkan hal ini dan merenungkan bagaimana mengasihi Tuhan dan menyatakan kasih saya kepada-Nya, ayat-ayat ini datang kepada saya: "Jika Engkau, ya TUHAN mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang" (Mzm. 130:3-4). Kata-kata ini bermanfaat untuk saya, terutama bagian yang kedua, bahwa ada pengampunan pada Tuhan, bahwa Ia bisa saja ditakuti -- yakni, sebagaimana kemudian yang saya pahami, bahwa Ia patut dikasihi dan dihormati. Dijelaskan kepada saya seperti ini, bahwa Allah yang Mahabesar begitu menghargai kasih dari ciptaan-Nya yang berdosa sehingga daripada tidak memiliki kasih mereka, Ia lebih memilih untuk mengampuni pelanggaran-pelanggaran mereka! Kini kata ini diterapkan pada diri saya dan saya disegarkan kembali olehnya: "'... dan dengan itu engkau akan teringat-ingat yang dulu dan merasa malu, sehingga mulutmu terkatup sama sekali karena nodamu, waktu Aku mengadakan pendamaian bagimu karena segala perbuatanmu,' demikianlah firman Tuhan Allah" (Yeh. 16:63).

Jadi demikianlah, keadaan jiwa saya saat ini dibebaskan dari siksaan karena kesalahan dan kebingunan masa lalu seperti yang saya perkirakan. Namun, belum beberapa minggu berlalu, saya mulai merasa tertekan kembali, takut kalau di balik semua yang telah saya nikmati, ternyata saya dibohongi dan akhirnya dihancurkan. Pemikiran berikut sangat mengganggu pikiran, yaitu bahwa apa pun bentuk hiburan dan ketenangan yang saya kira boleh saya terima dari ucapan dan janji akan hidup yang kekal, pada akhirnya tak akan saya temukan jika di dalam pengalaman yang menghibur saya tersebut, tidak terdapat kesamaan dan kesesuaian dengan Kitab Suci -- tak peduli apa pun yang saya pikirkan tentang hal itu atau seberapa kuatnya saya memercayainya -- sebab "Kitab Suci tidak dapat dibatalkan" (Yoh. 10:35). Kini hati saya mulai terasa sakit dan takut lagi, jangan-jangan pada akhirnya nanti saya kecewa. Karena itu, mulailah saya dengan serius menyelidiki rasa nyaman yang saya dapatkan sebelum ini dan memeriksa apakah orang yang telah berdosa seperti saya bisa dengan teguh memercayai kesetiaan Allah, sebagaimana yang disampaikan dalam ayat Kitab Suci yang telah menghibur saya dan yang kepadanya saya telah bersandar.

Diambil dari:

Judul asli buku : Grace Abounding to the Chief of Sinners
Judul buku terjemahan : Anugerah Berlimpah bagi Pendosa Terbesar
Judul bab : Kemenangan Anugerah
Judul asli artikel : Secercah Harapan
Penulis : John Bunyan
Penerjemah : Ina Elia
Penerbit : Penerbit Momentum, Surabaya 2005
Halaman : 111 -- 115