Pertanyaan-Pertanyaan Paskah

Oh jiwaku, bersiaplah bagi Dia yang tahu bagaimana bertanya – T.S. Eliot

“Yesus adalah jawabannya,” demikianlah ungkapan yang sering dikutip. Dia saja yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kita yang paling mendesak. Hal yang sama berlaku untuk masalah kita. Allah ada di sana untuk melakukan apa yang tidak bisa kita lakukan sendiri. Namun, dengan menerapkan iman seperti ini, kisah Paskah tidak cukup dipahami dengan baik. Yesus yang dikhianati, menderita, mati, dan bangkit lagi memberikan sedikit dari jawaban yang mudah. Namun, mengenai pertanyaan-pertanyaan, Dia memiliki banyak pertanyaan yang sangat mungkin masih diajukan kepada kita.

Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? (Mat. 26:6-13) seorang perempuan yang sangat terharu datang kepada Yesus dan menuangkan sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi yang mahal ke atas kepala-Nya. Geram dengan pemborosan, murid-murid Yesus menegurnya atas nama orang miskin. Namun Yesus memberitahu mereka bahwa dia telah melakukan suatu hal yang indah, dan bahwa akan selalu ada kesempatan untuk membantu orang yang miskin.

Berapa banyak di antara kita yang sama persis seperti para murid, pelaku kebaikan pragmatis? Kita lebih peduli dengan kaum miskin, kebutuhan dunia, alasan kedamaian dan keadilan, daripada dengan Yesus sendiri. Seperti Marta, kita sibuk melakukan hal-hal yang baik namun gagal untuk duduk, seperti yang dilakukan Maria, di kaki Sang Guru dan mendengarkan apa yang Dia katakan. Kita lebih suka membantu orang miskin “di luar sana” daripada bersama dengan Yesus yang ada bersama dengan kita di sini, dalam “saudara-saudara-Ku yang paling hina”. Murid-murid ingin melakukan “hal baik.” Namun perempuan itu, sendirian, melakukan hal yang indah.

Jika kita jujur, sebagian besar dari kita lebih percaya pada perbuatan baik daripada Sang Guru kita. Namun Paskah bukanlah tentang apa yang dapat kita lakukan bagi Tuhan, namun tentang apa yang telah Dia lakukan dan terus lakukan bagi kita. Prinsipnya, adalah kita, bukan Tuhan, yang membutuhkan. Para murid tidak memahami bahwa Yesus, yang termiskin dari antara yang miskin, menjadi miskin sehingga kita, yang miskin dan hina, menjadi kaya (2 Kor 8:9). Perempuan itu mengurapi Yesus karena dia mengerti bahwa kematian-Nya berarti hidup – hidup yang baru. Inilah Injil, dan karena itu “apa yang dilakukannya ini akan selalu disebutkan.” Apa yang akan dikatakan tentang Anda? Seberapa berharga kematian Yesus bagi Anda? Cukup berhargakah untuk menyerahkan segala yang Anda miliki?

Sedang tidurkah engkau? (Mrk. 14:32-42) Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes untuk bersama-Nya sendirian di saat-saat yang paling sulit. Hati-Nya sangat sedih, bahkan sampai mau mati. “Tinggallah di sini dan berjaga-jaga dengan-Ku,” kata-Nya kepada mereka. Namun Yesus mendapati murid-murid-Nya tertidur. “Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga dengan-Ku satu jam saja?”

Dari sudut pandang manusia kelihatannya Yesus mengharapkan terlalu banyak. Dia sendiri mengakui bahwa roh penurut, namun daging lemah. Dia tahu bahwa kita memiliki keterbatasan. Namun Dia juga tidak punya waktu untuk banyak alasan: “Cukuplah. Saatnya sudah tiba.”

Berapa kali kita merasionalisasikan kelemahan kita, dengan alasan kita hanya manusia biasa, dan dengan demikian kehilangan saat yang kritis – waktu Tuhan? Waktu Tuhan selalu datang ketika kita paling tidak siap untuk itu. Cobaan tidak menunggu sampai kita kuat; cobaan mendatangi kita di saat dan dimana kita paling rentan. Tetapi cobaan juga datang tepat pada saat kasih Tuhan yang menebus itu akan masuk, ketika Tuhan akan menang.

Berjaga-jaga dan berdoa lebih daripada sebuah disiplin – itu merupakan pemberian, sebuah kesempatan. Lebih penting lagi, hal itu adalah masalah perasaan apa yang sedang dihadapi, tentang bagaimana Tuhan sedang bekerja. Untuk tetap berjaga-jaga adalah mengambil bagian dalam pergumulan Kristus mengatasi kejahatan di dunia ini. Yesus mengundang kita untuk bersama Dia dalam peperangan ini, dan di dalam kelemahan Dia mengajak kita untuk menang melalui ke tempat dimana kita dapat menerima kehendak Tuhan atas hidup kita – tanpa syarat. Taman Getsemani bukanlah sebuah tempat kekelaman, namun kebebasan. Untuk menyendiri di hadapan Tuhan, ketika kekuatan iblis bertambah, merupakan kekuatan kita. Namun kita dapat memilih untuk berhenti. Kita bisa menyerah pada kedagingan, mengapung mengikuti arus yang saat ini dianggap natural dan wajar. Kita bisa gagal untuk tetap berjaga-jaga dengan Yesus. Terserah pada kita apakah akan tidur atau bangun berjaga-jaga.

Mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat. 27:46) Pertanyaan yang tak terduga, tak terkatakan, tak bisa dijawab, rasa putus asa yang sangat memilukan yang keluar dari bibir Yesus yang kering: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dia yang melakukan semua kebenaran – ditinggalkan oleh Allah Sang Kebenaran! Sebuah misteri, namun juga merupakan sebuah pertanyaan untuk Anda dan saya. Mengapa kita meninggalkan Yesus? Apakah kita dalam penyangkalan, seperti Petrus dan murid-murid lain yang bersikeras bahwa mereka tidak akan pernah menyangkali Guru mereka?

Namun kita adalah murid-murid, setiap dari kita. Kita mungkin bersikeras secara berbeda, namun bukankah kita semua juga menyangkali Yesus? Berulang kali, kita berjanji setia kepada Yesus, berjanji untuk mengikuti Dia, untuk berbuat lebih baik, namun kemudian tersandung, jatuh, gagal, dan meninggalkan Dia. Ketika iman kita ditantang, ketika reputasi kita atau citra diri kita dipertaruhkan, ketika rasa aman atau keberhasilan kita terancam, ketika kita menurunkan prinsip-prinsip kita satu derajat, ketika kita menuruti apa yang dikatakan oleh dunia daripada perkataan Tuhan, ketika kita menghakimi orang lain, bukankah kita meninggalkan Tuhan kita? Petrus menyangkal Yesus tiga kali. Berapa kali kita melakukannya?

Mengapa engkau menangis? (Yoh. 20:10-18) Mengapa Yesus mengajukan pertanyaan seperti itu, seorang manusia yang diri-Nya sendiri mengalami kesedihan? Tidak bisakah Dia melihat penderitaan saya? Dan bagaimana dengan penderitaan orang lain? Penderitaan seorang perempuan yang anaknya telah diperkosa dan dimutilasi oleh para tentara? Penderitaan seorang anak yang tidak dapat memahami mengapa dia ditinggalkan dan diperlakukan dengan sewenang-wenang? Orang yang secara mental terganggu, terkungkung dalam lingkaran obat dan program yang tak berujung yang tampaknya hanya mengabadikan neraka dimana mereka berada di dalamnya? Ya, Tuhan mengetahui itu semua, dan menangis bersama dengan kita. Yesus meratapi Lazarus, Yerusalem, dan kita. Namun air mata-Nya berbeda – itu bukan untuk diri-Nya sendiri, namun untuk dunia. Air mata-Nya mengubah penderitaan kita. “Maria,” kata Yesus. Yesus tahu nama Maria dan nama kita juga. Dia adalah Imanuel – Allah beserta kita. Air mata kita adalah air mata-Nya.

Jadi, mengapa engkau menangis? Yesus memberitahu kita bahwa orang yang berduka akan dihiburkan. Namun ini hanya jika penderitaan kita melampaui penderitaan karena dosa dan penderitaan seluruh dunia. Dia mengangkat kita melampaui diri kita sendiri, bukan dengan menghapus air mata kita, yang akan Dia lakukan pada Hari Penghakiman, namun mengarahkan kita kembali pada kesengsaraan yang Dia derita bagi kita. Air mata-Nya menggerakkan kita untuk bertobat, menjauh dari kepahitan dan mengasihani diri sendiri. Air mata-Nya menyucikan kita, dan jika kita mengijinkannya, akan menggerakkan kita untuk mengasihi. “Bertolong-tolonganlah dalam menanggung bebanmu, dengan demikian kamu memenuhi hukum Kristus,” kata Paulus. Beban terberat bukanlah menanggung beban lain selain beban Anda sendiri. Itu merupakan jalan kesepian dan keterpisahan dan rasa putus asa. Namun Yesus memberikan kepada kita jalan yang baru. Jadi, mengapa engkau menangis? Untuk apa Anda menangis? Apakah air mata-Nya adalah air mata Anda?

Apakah engkau sungguh mengasihi Aku? (Yoh. 21:15-17) Petrus meninggalkan Yesus, dan menyangkali Dia tiga kali. Dia juga menangis, dan menangis dengan sedihnya karena dosanya. Tetapi, menangis berbeda dari pemulihan. Penyesalan yang mendalam bukanlah pembaruan. Yesus meminta lebih dari Petrus, dan juga memberi dia lebih. Tiga kali Yesus bertanya kepadanya: apakah engkau mengasihi Aku? Dan tiga kali Petrus menjawab, Ya. “Maka gembalakanlah domba-domba-Ku,” perintah Yesus. “Berhenti merasa buruk terhadap dirimu, dan mulailah mengurus orang lain – pelihara mereka, lindungi mereka, didiklah mereka! Seperti gembala yang baik, berikanlah hidupmu untuk orang lain.”

Sebagian besar dari kita mau mengasihi Yesus. Kita mengikuti ajaran-Nya, mempraktekkan perbuatan-Nya, menceritakan tentang Dia kepada orang lain, dan mengakui dosa kita. Kita bahkan takjub atas apa yang telah diperbuat-Nya. Namun Yesus masih bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku? Sungguh? Kau memanggil nama-Ku. Tetapi, apakah engkau mengasihi Aku?” Benarkah? Maka gembalakanlah orang-orang-Ku yang lemah. Perhatikanlah mereka. Layanilah kebutuhan mereka yang paling dalam. Angkatlah rasa takut mereka, harapan, kebutuhan, dan keraguan mereka. Jangan hanya ada di samping mereka, tetapi berikanlah dirimu pada mereka. Jadilah penjaga saudaramu, lakukanlah sekarang, pada orang-orang yang paling dipercayakan kepadamu. Anda mengenal siapa mereka. Maukah Anda menggembalakan mereka?

Bertahun-tahun setelah kematian-Nya Yesus berbicara kepada jemaat di Efesus, sebuah gereja yang bekerja keras, bertahan dalam kesukaran, menolak ajaran palsu. Namun Yesus mengatakan demikian kepada mereka: “Engkau telah meninggalkan kasihmu yang mula-mula! Ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukan lagi apa yang semula engkau lakukan” (Why. 2:4-5) Kasih yang semula itu sungguh-sungguh, hidup dan segar, bersemangat, berapi-api. Apakah ini menggambarkan kasih Anda bagi Yesus?

Apa urusanmu dengan itu? (Yoh. 21:20-23) Yohanes mengikuti di belakang Yesus dan Petrus. Yesus baru saja menunjukkan kepada Petrus kematian seperti apa yang akan dihadapinya. “Bagaimana dengan dia?” Petrus bertanya. “Jadi bagaimana dengan dia? Apa urusanmu dengan itu?” benar! Apakah harus dipersoalkan oleh Anda atau saya bagaimana Yesus menetapkan hidup orang lain? Bukankah seharusnya kita membajak dan melihat lurus ke depan? Berapa banyak tenaga dan waktu yang Anda habiskan untuk membandingkan diri Anda dan bagian Anda dengan orang lain, bertanya-tanya tentang milik mereka dan apa yang mereka lakukan? Mengapa Anda tidak puas dengan apa yang ditentukan oleh Yesus untuk Anda – apapun itu? Mengapa takdir orang lain, panggilan orang lain menentukan siapa atau bagaimana Anda? “Kesucian hati,” kata Kierkegaard, “adalah menginginkan satu hal.” Kehendak Yesus bagi kita adalah sederhana: “Engkau! Ikutlah Aku.”

Mengapa kamu berdiri di sini? (Kis. 1:1-11) Yesus naik ke surga, tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Dia adalah Tuhan atas segala sesuatu dan karenanya memerintah atas segalanya. Pekerjaan-Nya sekarang dalam proporsi kosmik. Jadi mengapa kamu berdiri di sini? Mengapa kamu melihat ke langit ketika Yesus sebenarnya kembali?

Mari kita akui. Kita suka memandang sesuatu dengan lama. Kita suka bertanya-tanya dan mereka-reka dan membayangkan dan merasa rohani; kita suka naik ke atas dan melambung ke alam surgawi. Kita suka diangkat. Namun Yesus memberitahu murid-murid-Nya untuk bersiap-siap. Mereka akan menerima kuasa ketika Roh Kudus diturunkan. Dia akan datang kembali kepada mereka. Dan ketika Dia datang, Dia tidak berada di sekitar situ. Kaki bergerak, lidah berkata-kata, harta milik diberikan, mujizat terjadi. Masa depan Tuhan terjadi saat ini, merevolusi segalanya. Kita tidak bisa lagi berdiam diri. Sesuatu terjadi, sama seperti ketika Yesus hidup di bumi. Dia bergerak di dalam dan melalui kita, dan kabar baik tentang Kerajaan diberitakan.

Christoph Blumhardt pernah berkata, “Masa depan Kristus adalah sekarang, atau tidak sama sekali. Itu harus menjadi pengalaman hari ini dan esok dan setiap hari. Juru Selamat datang! Dia sedang menuju ke Anda, saya, kita semua, di dalam segala keadaan di hidup kita.” Jadi mengapa kita berdiri di sini? Mengapa kita menginginkan segala sesuatu diam saja? Bukti tertinggi bahwa Yesus hidup,” seru Clarence Jordan, “bukanlah kubur yang kosong, tetapi persekutuan yang dipenuhi oleh roh. Bukan batu yang terguling, namun gereja yang berpengaruh.” Apakah Anda percaya ini? Apakah Anda mengalaminya? Apakah Anda bahkan menginginkannya? Atau justru Anda hanya mau berdiri di sini?

Paskah adalah waktu untuk bersukacita; adalah respons Tuhan terhadap kebutuhan kita yang tertinggi. Namun respons Tuhan selalu menuntut tantangan, tantangan-tantangan yang selalu siap kita abaikan dan terlalu mudah dikesampingkan begitu saja, meskipun itu memiliki jawaban-jawaban yang sangat kita nantikan. Yesus mengetahui hal itu, sama dengan Petrus, Setan ingin menampi kita seperti gandum, karena itu Dia berdoa untuk kita, ya, untuk kita, supaya iman kita tidak jatuh. “kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus yang Adil” (1 Yoh 2:1). Jadi pada Paskah kali ini, marilah kita mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan-Nya.(t/Jing Jing)

Diambil dari:

Nama situs : Plough
Alamat : http://www.plough.com/en/articles/2009/easter-questions
Judul artikel : Easter Questions
Penulis artikel : Charles Moore
Tanggal akses : 4 Februari 2014