Makna Ketaatan

Oleh: Peserta Kelas Diskusi Paskah Maret 2011 - Bobby

"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Filipi 2:8

Perikop ini sering direnungkan, secara khusus yang berkaitan dengan “kenosis” atau ketika membahas persatuan dalam gereja. Pada ayat sebelumnya, Frasa “Yang walaupun dalam rupa (morphe) Allah …”, menunjuk kepada pribadi Yesus yang esensi (morphe = wujud) – Nya adalah Allah telah mengosongkan dirinya (kenoo – self emptyness) sedemikian rupa dengan (1) tidak mempertahankan derajat keilahian-Nya, (2) mengambil rupa seorang hamba dengan mengambil wujud (=morphe) manusia, dan (3) dalam kemanusiaan-Nya ia memilih menjadi manusia yang paling hina dengan mati tersalib.

Makna Ketaatan

Namun yang menarik perhatian saya adalah ayat [8] Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia yang mempunyai free-will dan segudang pembenaran untuk menolak salib ia memilih taat.

Kata taat selalu berpasangan dengan pilihan (yang merupakan manifestasi dari free-will), tidak ada ketaatan tanpa pilihan. Kalau kita melakukan sesuatu karena ketiadaan pilihan maka itu bukanlah ketaatan melainkan keterpaksaan. Namun jika kita melakukan sesuatu yang tidak kita ingini, dan kita ada pilihan untuk tidak mengambil tindakan itu, maka tindakan itu merupakan ketaatan.

Seorang anak yang tidak ingin belajar karena libur, namun dia tetap belajar karena akan ada ulangan mid-semester itu adalah suatu ketaatan. Seorang hamba Tuhan yang tidak ingin berangkat melayani, karena sedang ada final piala dunia, namun dia berangkat pelayanan itu adalah suatu ketaatan. Namun seekor anjing tidak beranjak dari tempatnya karena diikat dengan rantai adalah suatu keterpaksaan bukan suatu ketaatan.

Ketaatan Tidaklah Mudah (Harga suatu Ketaatan)

Ketaatan bukan suatu pilihan mudah, jika si Anak sekolah tadi belajar karena tidak ada lagi yang harus dilakukan alias nganggur maka kegiatan belajar tentu sangat mudah dikerjakan. Namun jika pada waktu itu ada acara TV yang menjadi favorit dia dan dia sudah tunggu berminggu-minggu maka hal itu suatu ketaatan yang tidak mudah. Sama halnya dengan hamba Tuhan dengan final piala dunia kesukaannya.

Demikian pula dengan Yesus, ketika Dia bergumul di taman Getsemane (Mat 26:37-45), Ia mulai gentar dan membutuhkan teman (ay. 37-38). Bahkan Ia sempat meminta “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (ay. 39). Bahkan karena beratnya pergumulan Yesus antara ketaatan dan pilihan-Nya, Lukas mencatat keringat Yesus menjadi titik-titik darah (Luk. 22:44).[1]

Ia benar-benar gentar menghadapi kematian dan cara kematian-Nya, bahkan dengan kemahatahuan-Nya, Ia tentu mengetahui dengan sangat detail proses penangkapan, kehinaan, kenistaan, penderitaan, kesakitan yang akan segera dihadapi-Nya. Sehingga dapat dimengerti kalau Sang Putera itu berdoa “Sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku.” Hanya suatu ketaatan yang "ultimate" saja serta kesadaran akan misi agung-Nya, maka Ia memutuskan untuk berkata “tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Ini suatu ketaatan dan keputusan yang luar biasa, yang menghantarnya ke salib di Golgota.

Apa yang Dia dapat? (Upah Ketaan)

Dari ayat 9-11 terlihat jelas bahwa Allah Bapa mengaruniakan suatu upah atas ketaatan berupa mahkota kemuliaan yang berupa: (1) nama di atas segala nama, (2) kuasa atas sorga dan bumi dan (3) kepenguasaan (Lordship). Itu semua diperoleh karena ketaatan Yesus, yang dengan sadar dan rela memilih cawan penderitaan dan salib kehinaan.

Kiranya melalui teladan Kristus ini, kita dapat menghadirkan ketaatan Kristus dalam kehidupan keseharian kita dengan memikul salib kita masing-masing dengan taat dan setia. Karena ada tertulis “Barang siapa hendak mengikut aku, maka ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku”.

Akhirul Kalam, Tidak ada kemuliaan tanpa kehinaan, tidak ada upah tanpa upaya. Dengan perkataan lain: “No Crown without Cross“