Cinta Golgota

Wafatnya Yesus Kristus yang diperingati pada Jumat, 6 April 2007 ini, telah lama diparadigma dalam teologi Kristen sebagai ekspresi cinta kasih. Dalam pandangan Kristiani, kematian tokoh sentral yang dipercaya sebagai Tuhan dan Juru Selamat ini merupakan wujud bahwa Ia mengasihi umat-Nya sehingga rela menanggung hukuman menggantikan mereka (substitutional death) sekalipun menurut Alkitab Ia sama sekali tidak berbuat dosa/bersalah.

Ada semacam paradigma cinta dipraktikkan Yesus Kristus dalam kematian-Nya di Golgota, yang dapat menjadi inspirasi kala bangsa kita mengalami krisis cinta.


Pertama, cinta Golgota adalah cinta pengorbanan, rela merugi demi kebahagiaan orang lain. Adagium ini barangkali telah terasa usang tatkala kita lebih cenderung menerima adagium "berbahagia di atas penderitaan orang lain".


Cinta sejati seharusnya berupa altruisme dan bukan egoisme, berupa eksploitasi diri dan bukan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingan sendiri. Oleh karena itu, jika suami mengasihi istri, orangtua mengasihi anak, guru mengasihi murid, dan pemerintah mengasihi rakyat, mereka harus rela membayar harga mahal untuk mengorbankan diri bagi kebahagiaan orang lain.


Praktik elite politik membonsai rakyat menjadi komoditas politik merupakan praktik keji penuh kebencian, miskin cinta, kejam, dan tidak bermoral. Praktik seperti itu harus dihentikan. Marilah kita membangun cinta sejati yang diparadigma dalam pengorbanan diri.


Kedua, cinta Golgota adalah cinta penuh pengampunan dan bukan balas dendam. Perkataan pertama Yesus Kristus di kayu salib adalah "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34).


Salib dalam hukuman mati Romawi telah menjadi panggung penuh kutuk. Namun ketika Yesus Kristus berada di atas kayu kasar itu, Ia menunjukkan praktik berbeda: pengampunan. Ya, Ia mengampuni para pemaku dan pencambuk diri-Nya. Itulah cinta sejati, penuh pengampunan.


Tanpa cinta sejati demikian, bangsa kita akan terus dipenuh praktik dendam kesumat yang telah berurat akar dan tidak akan selesai kecuali senjata pengampunan digunakan secara optimal. Tanpa ini, suku satu akan terus membalas suku lain. Angkatan satu saling mencerca, mendendam, iri hati, dan jengkel dengan angkatan lain. Marilah kita berdoa dan berupaya membangun pengampunan di negeri yang sejatinya kaya nilai cinta ini.


Ketiga, cinta Golgota adalah cinta penuh penerimaan. Seorang penjahat, yang tadinya menghujat Yesus tetapi kemudian akhirnya bertobat, berseru, "Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja" (Lukas 23:42). Yesus kemudian menerimanya dan berkata, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Lukas 23:43).


Penerimaan Yesus ini tidak serta-merta mereduksi keadilan penghukuman karena cinta sejati tidak pernah mau menerima kejahatannya. Yang diterima adalah orangnya. Tanpa penerimaan kepada seseorang yang telah berbuat salah, penghakiman dan keadilan akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.


Seseorang, sekalipun berbuat jahat, tetap manusia yang dicipta sebagai citra Allah dan seharusnya diterima orang lain. Diperlukan cinta seperti ini di tengah masyarakat agar kita dapat saling menerima dan menghargai perbedaan.


Keempat, cinta Golgota melenyapkan ketakutan sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Yohanes 4:18: "di dalam kasih [cinta] tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan". Yesus Kristus tidak takut akan penderitaan dan kematian. Sekalipun hal mengerikan itu harus Ia jalani. Namun karena Ia mengasihi, sama sekali tidak ada ketakutan.


Seorang ibu yang harus menemani anaknya di tengah kegelapan tidak merasa takut karena mengasihi anaknya. Seorang ayah yang harus menemani anaknya, penderita flu burung, tidak takut tertular karena mengasihi anaknya. Kalau para elite kita benar-benar mengasihi, mereka seharusnya tidak menjauhi rakyat atau menjadikan rakyat seperti momok dan borok yang harus dijauhi, melainkan dengan berani mendekati pusat krisis dan dekat dengan air mata rakyat.


Cinta seperti ini diperlukan para pemimpin. Cinta yang tidak menghasilkan ketakutan, melainkan keberanian. Bukan keberanian untuk berbuat kejahatan, tetapi keberanian untuk berbuat kebenaran.


Kelima, cinta Golgota penuh dengan karakter mulia, sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Korintus 13:4-7, "Kasih [cinta] itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu".


Karakter-karakter mulia bermutu tinggi ini barangkali bisa menjadi parameter bagaimana praktik cinta telah dijalankan di tengah masyarakat, yakni suami-istri, orangtua-anak, pemerintah-rakyat, guru-murid, penjual-pembeli, dan seterusnya.


Semoga dengan Paskah tahun ini pohon cinta bertumbuh subur di negeri subur ini. Selamat Paskah. (Dimuat dalam Kompas Jawa Timur, 5 April 2007)

Penulis: Antonius Steven Un